Legenda Reog Ponorogo dan Warok
♥ Jumat, 06 Juli 2012 @ 7/06/2012
Salah satu ciri khas seni budaya Kabupaten Ponorogo Jawa Timur adalah
kesenian Reog Ponorogo. Reog, sering diidentikkan dengan dunia hitam,
preman atau jagoan serta tak lepas pula dari dunia mistis dan kekuatan
supranatural. Reog mempertontonkan keperkasaan pembarong dalam
mengangkat dadak merak seberat sekitar 50 kilogram dengan kekuatan
gigitan gigi sepanjang pertunjukan berlangsung. Instrumen pengiringnya,
kempul, ketuk, kenong, genggam, ketipung, angklung dan terutama
salompret, menyuarakan nada slendro dan pelog yang memunculkan atmosfir
mistis, unik, eksotis serta membangkitkan semangat. Satu group Reog
biasanya terdiri dari seorang Warok Tua, sejumlah warok muda, pembarong
dan penari Bujang Ganong dan Prabu Kelono Suwandono. Jumlah kelompok
reog berkisar antara 20 hingga 30-an orang, peran utama berada pada
tangan warok dan pembarongnya.
Pembarong dengan Dadak Merak © 2005 arie saksono
Seorang
pembarong, harus memiliki kekuatan ekstra. Dia harus mempunyai kekuatan
rahang yang baik, untuk menahan dengan gigitannya beban “Dadak Merak”
yakni sebentuk kepala harimau dihiasi ratusan helai bulu-bulu burung
merak setinggi dua meter yang beratnya bisa mencapai 50-an kilogram
selama masa pertunjukan. Konon kekuatan gaib sering dipakai pembarong
untuk menambah kekuatan ekstra ini, salah satunya dengan cara memakai
susuk, di leher pembarong. Untuk menjadi pembarong tidak cukup hanya
dengan tubuh yang kuat. Seorang pembarong pun harus dilengkapi dengan
sesuatu yang disebut kalangan pembarong dengan wahyu yang diyakini para
pembarong sebagai sesuatu yang amat penting dalam hidup mereka. Tanpa
diberkati wahyu, tarian yang ditampilkan seorang pembarong tidak akan
tampak luwes dan enak untuk ditonton. Namun demikian persepsi misitis
pembarong kini digeser dan lebih banyak dilakukan dengan pendekatan
rasional. Menurut seorang sesepuh Reog, Mbah Wo Kucing “Reog itu nggak
perlu ndadi. Kalau ndadi itu ya namanya bukan reog, itu jathilan. Dalam
reog, yang perlu kan keindahannya“.
Legenda Cerita Reog Reog
dimanfaatkan sebagai sarana mengumpulkan massa dan merupakan saluran
komunikasi yang efektif bagi penguasa pada waktu itu. Ki Ageng Mirah
kemudian membuat cerita legendaris mengenai Kerajaan Bantaranangin yang
oleh sebagian besar masyarakat Ponorogo dipercaya sebagai sejarah.
Adipati Batorokatong yang beragama Islam juga memanfaatkan barongan ini
untuk menyebarkan agama Islam. Nama Singa Barongan kemudian diubah
menjadi Reog, yang berasal dari kata Riyoqun, yang berarti khusnul
khatimah yang bermakna walaupun sepanjang hidupnya bergelimang dosa,
namun bila akhirnya sadar dan bertaqwa kepada Allah, maka surga
jaminannya. Selanjutnya kesenian reog terus berkembang seiring dengan
perkembangan zaman. Kisah reog terus menyadur cerita ciptaan Ki Ageng
Mirah yang diteruskan mulut ke mulut, dari generasi ke generasi.Menurut
legenda Reog atau Barongan bermula dari kisah Demang Ki Ageng Kutu
Suryonggalan yang ingin menyindir Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V.
Sang Prabu pada waktu itu sering tidak memenuhi kewajibannya karena
terlalu dipengaruhi dan dikendalikan oleh sang permaisuri. Oleh karena
itu dibuatlah barongan yang terbuat dari kulit macan gembong (harimau
Jawa) yang ditunggangi burung merak. Sang prabu dilambangkan sebagai
harimau sedangkan merak yang menungganginya melambangkan sang
permaisuri. Selain itu agar sindirannya tersebut aman, Ki Ageng
melindunginya dengan pasukan terlatih yang diperkuat dengan jajaran para
warok yang sakti mandraguna. Di masa kekuasaan Adipati Batorokatong
yang memerintah Ponorogo sekitar 500 tahun lalu, reog mulai berkembang
menjadi kesenian rakyat. Pendamping Adipati yang bernama Ki Ageng Mirah
menggunakan reog untuk mengembangkan kekuasaannya.Reog mengacu pada
beberapa babad, Salah satunya adalah babad Kelana Sewandana. Babad Klana
Sewandana yang konon merupakan pakem asli seni pertunjukan reog. Mirip
kisah Bandung Bondowoso dalam legenda Lara Jongrang, Babad Klono
Sewondono juga berkisah tentang cinta seorang raja, Sewondono dari
Kerajaan Jenggala, yang hampir ditolak oleh Dewi Sanggalangit dari
Kerajaan Kediri. Sang putri meminta Sewondono untuk memboyong seluruh
isi hutan ke istana sebagai mas kawin. Demi memenuhi permintaan sang
putri, Sewandono harus mengalahkan penunggu hutan, Singa Barong (dadak
merak). Namun hal tersebut tentu saja tidak mudah. Para warok, prajurit,
dan patih dari Jenggala pun menjadi korban. Bersenjatakan cemeti pusaka
Samandiman, Sewondono turun sendiri ke gelanggang dan mengalahkan
Singobarong. Pertunjukan reog digambarkan dengan tarian para prajurit
yang tak cuma didominasi para pria tetapi juga wanita, gerak bringasan
para warok, serta gagah dan gebyar kostum Sewandana, sang raja pencari
cinta.Versi lain dalam Reog Ponorogo mengambil kisah Panji. Ceritanya
berkisar tentang perjalanan Prabu Kelana Sewandana mencari gadis
pujaannya, ditemani prajurit berkuda dan patihnya yang setia,
Pujangganong. Ketika pilihan sang prabu jatuh pada putri Kediri, Dewi
Sanggalangit, sang dewi memberi syarat bahwa ia akan menerima cintanya
apabila sang prabu bersedia menciptakan sebuah kesenian baru. Dari situ
terciptalah Reog Ponorogo. Huruf-huruf reyog mewakili sebuah huruf depan
kata-kata dalam tembang macapat Pocung yang berbunyi: Rasa kidung/
Ingwang sukma adiluhung/ Yang Widhi/ Olah kridaning Gusti/ Gelar gulung
kersaning Kang Maha Kuasa. Unsur mistis merupakan kekuatan spiritual
yang memberikan nafas pada kesenian Reog Ponorogo.
WarokWarok
sampai sekarang masih mendapat tempat sebagai sesepuh di masyarakatnya.
Kedekatannya dengan dunia spiritual sering membuat seorang warok
dimintai nasehatnya atas sebagai pegangan spiritual ataupun ketentraman
hidup. Seorang warok konon harus menguasai apa yang disebut Reh
Kamusankan Sejati, jalan kemanusiaan yang sejati.Warok dalam pertunjukan
Reog Ponorogo © 2005 arie saksonoWarok adalah pasukan yang bersandar
pada kebenaran dalam pertarungan antara kebaikan dan kejahatan dalam
cerita kesenian reog. Warok Tua adalah tokoh pengayom, sedangkan Warok
Muda adalah warok yang masih dalam taraf menuntut ilmu. Hingga saat ini,
Warok dipersepsikan sebagai tokoh yang pemerannya harus memiliki
kekuatan gaib tertentu. Bahkan tidak sedikit cerita buruk seputar
kehidupan warok. Warok adalah sosok dengan stereotip: memakai kolor,
berpakaian hitam-hitam, memiliki kesaktian dan gemblakan.Menurut sesepuh
warok, Kasni Gunopati atau yang dikenal Mbah Wo Kucing, warok bukanlah
seorang yang takabur karena kekuatan yang dimilikinya. Warok adalah
orang yang mempunyai tekad suci, siap memberikan tuntunan dan
perlindungan tanpa pamrih. “Warok itu berasal dari kata wewarah. Warok
adalah wong kang sugih wewarah. Artinya, seseorang menjadi warok karena
mampu memberi petunjuk atau pengajaran kepada orang lain tentang hidup
yang baik”.“Warok iku wong kang wus purna saka sakabehing laku, lan wus
menep ing rasa” (Warok adalah orang yang sudah sempurna dalam laku
hidupnya, dan sampai pada pengendapan batin).
Syarat menjadi Warok Warok
harus menjalankan laku. “Syaratnya, tubuh harus bersih karena akan
diisi. Warok harus bisa mengekang segala hawa nafsu, menahan lapar dan
haus, juga tidak bersentuhan dengan perempuan. Persyaratan lainnya,
seorang calon warok harus menyediakan seekor ayam jago, kain mori 2,5
meter, tikar pandan, dan selamatan bersama. Setelah itu, calon warok
akan ditempa dengan berbagai ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan. Setelah
dinyatakan menguasai ilmu tersebut, ia lalu dikukuhkan menjadi seorang
warok sejati. Ia memperoleh senjata yang disebut kolor wasiat, serupa
tali panjang berwarna putih, senjata andalan para warok. Warok sejati
pada masa sekarang hanya menjadi legenda yang tersisa. Beberapa kelompok
warok di daerah-daerah tertentu masih ada yang memegang teguh budaya
mereka dan masih dipandang sebagai seseorang yang dituakan dan disegani,
bahkan kadang para pejabat pemerintah selalu meminta restunya.
Gemblakan Selain
segala persyaratan yang harus dijalani oleh para warok tersebut,
selanjutnya muncul disebut dengan Gemblakan. Dahulu warok dikenal
mempunyai banyak gemblak, yaitu lelaki belasan tahun usia 12-15 tahun
berparas tampan dan terawat yang dipelihara sebagai kelangenan, yang
kadang lebih disayangi ketimbang istri dan anaknya. Memelihara gemblak
adalah tradisi yang telah berakar kuat pada komunitas seniman reog. Bagi
seorang warok hal tersebut adalah hal yang wajar dan diterima
masyarakat. Konon sesama warok pernah beradu kesaktian untuk
memperebutkan seorang gemblak idaman dan selain itu kadang terjadi
pinjam meminjam gemblak. Biaya yang dikeluarkan warok untuk seorang
gemblak tidak murah. Bila gemblak bersekolah maka warok yang
memeliharanya harus membiayai keperluan sekolahnya di samping memberinya
makan dan tempat tinggal. Sedangkan jika gemblak tidak bersekolah maka
setiap tahun warok memberikannya seekor sapi. Dalam tradisi yang dibawa
oleh Ki Ageng Suryongalam, kesaktian bisa diperoleh bila seorang warok
rela tidak berhubungan seksual dengan perempuan. Hal itu konon merupakan
sebuah keharusan yang berasal dari perintah sang guru untuk memperoleh
kesaktian.Kewajiban setiap warok untuk memelihara gemblak dipercaya agar
bisa mempertahankan kesaktiannya. Selain itu ada kepercayaan kuat di
kalangan warok, hubungan intim dengan perempuan biarpun dengan istri
sendiri, bisa melunturkan seluruh kesaktian warok. Saling mengasihi,
menyayangi dan berusaha menyenangkan merupakan ciri khas hubungan khusus
antara gemblak dan waroknya. Praktik gemblakan di kalangan warok,
diidentifikasi sebagai praktik homoseksual karena warok tak boleh
mengumbar hawa nafsu kepada perempuan.Saat ini memang sudah terjadi
pergeseran dalam hubungannya dengan gemblakan. Di masa sekarang gemblak
sulit ditemui. Tradisi memelihara gemblak, kini semakin luntur. Gemblak
yang dahulu biasa berperan sebagai penari jatilan (kuda lumping), kini
perannya digantikan oleh remaja putri. Padahal dahulu kesenian ini
ditampilkan tanpa seorang wanita pun.
Reog di masa sekarang Seniman
Reog Ponorogo lulusan sekolah-sekolah seni turut memberikan sentuhan
pada perkembangan tari reog ponorogo. Mahasiswa sekolah seni
memperkenalkan estetika seni panggung dan gerakan-gerakan koreografis,
maka jadilah reog ponorogo dengan format festival seperti sekarang. Ada
alur cerita, urut-urutan siapa yang tampil lebih dulu, yaitu Warok,
kemudian jatilan, Bujangganong, Klana Sewandana, barulah Barongan atau
Dadak Merak di bagian akhir. Saat salah satu unsur tersebut beraksi,
unsur lain ikut bergerak atau menari meski tidak menonjol. Beberapa
tahun yang lalu Yayasan Reog Ponorogo memprakarsai berdirinya Paguyuban
Reog Nusantara yang anggotanya terdiri atas grup-grup reog dari berbagai
daerah di Indonesia yang pernah ambil bagian dalam Festival Reog
Nasional. Reog ponorogo menjadi sangat terbuka akan pengayaan dan
perubahan ragam geraknya.